MENGIKUTI SALAH SATU DARI EMPAT MADZHAB
MENGIKUTI SALAH SATU DARI EMPAT MADZHAB
Pada masa sekarang wajib bagi ummat islam mengikuti salah satu empat
madzhab yang terkenal yang madzhabnya telah dimudawwankan (dibukukan)
Syaikh Muhammad Amin al Kurdi berkata:
ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام
منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه
الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم
في العلم والعمل والعدالة والاطلاع
"Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam
madzhab) dan berkata "saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits", dan
mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits maka orang
tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah,
sesat dan menyesatkan terutama pada masa sekarang ini dimana kefasikan
merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin
mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu,
amal, keadilan dan analisa".
Tanwiir alQuluub 74-75
Sayyid al-Bakri bin Muhammad Syatho’ ad-Dimyati al-Misri berkata :
كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم ومن قلد واحدا منهم
خرج من عهدة التكليف وعلى المقلد أرجحية مذهبه أو مساواته ولايجوز تقليد
غيرهم فى إفتاء أو قضاء. قال ابن حجر ولايجوز العمل بالضعيف بالمذهب ويمتنع
التلفيق فى مسألة كأن قلد مالكا فى طهارة الكلب والشافعى فى مسح بعض الرأس
(إعانة الطالبين, الجزء 1 الصفحة 17)
"Setiap imam yang empat
itu berjalan dijalan yang benar maka wajiblah bagi umat islam untuk
bertaqlid kepada salah satu diantara yang empat tadi sebab orang yang
sudah bertaqlid kepada salah satu imam yang empat tersebut maka ia telah
terlepas dari tanggungan dalam keagamaan dam orang yang bertaqlid
haruslah yakin bahwqa madzhab yang ia ikuti itu benar dan sama benarnya
dengan yang lain serta tidak boleh bertaqlid kepada madzhab lain selain
madzhab yang ia ikuti, seperti apa yang dikatakan oleh ibnu hajar
alhaitami: tidak boleh seseorang yang menganut suatu madzhab berbuat
talfiq (mencampur adukkan madzhab untuk mencari yang ringan-ringan)
misalnya mengikuti imam malik yang mensucikan anjing dan juga mengikuti
imam syafi'ie dalam membasuh sebagian kepala dalam berwudu''.
I'anatut Tholibin I/17
PINDAH MADZHAB DAN TALFIQ
Secara bahasa talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan
talfiq secara syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama
dengan pendapat ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang
membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut.
Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:
(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما (تنويرالقلوب , 397)
“(syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur
antara dua pendapat dalam satu qadliyah (masalah), baik sejak awal,
pertengahan dan seterusnya, yang nantinya, dari dua pendapat itu akan
menimbulkan satu amaliyah yang tak pernah dikatakan oleh orang
bberpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397)
Jelasnya, talfiq adalah
melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua
madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut :
a. Seseorang
berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari
seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah
(bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi
yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan
wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya
Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua
Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan
pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang
menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan
wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.
b. Seseorang
berwudlu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota
wudlu karena ikut madzhab imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing,
karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci.
Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan
membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudlu itu harus dengan
mengusap seluruh kepala dan juga dengan menggosok anggota wudlu. Wudlu
ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga
anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang
berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah.
Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu.
Talfiq semacam itu dilarang agama. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)
“talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik
dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap
sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1,
hal 17)
Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar tidak terjadi
tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak memanjakan umat Islam
untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub
(main-main) di dalam hukum agama. Atas dasar ini maka sebenarnya talfiq
yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan umat Islam untuk
memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap pembelaan dan
fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini dimunculkan dalam
rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak disalahpahami oleh
sebagian orang.
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini,
maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu
madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan kondisi dan situasi
Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun
dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan sosial
kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa
kondisi Indonesia mempunyai cirri khas tersendiri. Tuntutan
kemashlahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat lain.
Dengan demikian seseorang tidak diperkenankan seseorang berpindah madzhab kecuali bila memenuhi beberapa ketentuan :
1. Mengerti (mengetahui) masalah yang bersangkutan menurut madzhab yang diikutinya
2. Bukan dalam masalah yang termasuk dibatalkan oleh keputusan seorang
Qadhi (Hakim Agama) artinya tidak bertentangan dengan Nash (al-Quran dan
Hadits), al-Ijmaa’, Kaidah-kaidah ataupun Qiyas al-Jaly
3. Tidak mencari keringanan dengan mengambil yang mudah-mudah dari setiap madzhab yang ada
4. Tidak mengacaukan antara dua Qaul yang dapat menimbulkan kenyataan
yang tidak dikatakan oleh keduanya seperti pada keterangan diatas (sub
b)
5. Tidak melaksanakan Qaul seorang dalam satu masalah kemudian melaksanakan kebalikan Qaul tersebut dalammasalah yang sama
(Bughyah al-Mustarsyidiin Hal. 9, Sab’ah al-Kutub al-Fawaaid Hal. 51 dan Fath al-Mu’iin Hal. 138)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar