Bagaimana hukumnya membaca manaqib?
1.
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi
membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi
orang-orang baik mulia:manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi
Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan
lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul
tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong
berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang
berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau
saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya
jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani
saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob
berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi
komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di
tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita
tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar
dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah
Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang
semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau
keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir
al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk
akal?Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat
Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan
hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu,
apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal
yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya
mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.Adakah dalil
yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan
hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan
saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah
Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi
di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil
kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk
dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati
atau kepada bapakc ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad
bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai
kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari
kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik. Akan tetapi kalau dengan
i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak
ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan
kepada para wali itu maksudnya adalah bertawassul minta dimohonkan
kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung
boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha
Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan
saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala
Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak
benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan
(pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping
mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga
percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul
kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang
yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap
memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul
akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan
pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja
perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara
mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara
sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat
dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar
pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan
saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya
bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya
mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya
menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik
hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”.
Coba
perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya
mengajak saudara menghadap majikan besar itu?Ada dua orang pengemis.
Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya
yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi
baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang
lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang
membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau
begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang
masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang
masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?
Salah
satu budaya mengenang sejarah dan autobiographi wali adalah manaqib.
Manaqiban atau membaca manaqib dipercaya sebagai jalinan untuk
terus-menerus menyambung tali silaturahmi dengan Syekh Abdul Qadir al
Jailany yang dikenal dengan sultanul aulia. Bagaimana dan apa seputar
manaqib itu. Tulisan ini sekedar pendapat pribadi.
Ayat
di bawah ini bisa dijadikan landasan mengapa kita harus berada di
belakang orang-orang yang selalu berada dalam jalan kembali kepada
Allah SWT.
واتبع سبيل من أناب إلي ثم إلي مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون...
"Dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya
kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan." (QS Luqman: 15)
Bersyukur
kepada Allah atas nikmat besar dimana kita masih bisa mendengar tausiah
atau nasehat para ulama yang tidak bosan-bosannya mendorong manusia
agar meningkatan kualitas iman ruhaninya. Bukan sekedar kata-kata,
prilaku dan contoh kehidupannya merupakan pelajaran yang amat berharga
yang semestinya dijadikan teladan bagi para murid-muridnya atau para
simpatisannya. Semoga upaya para ulama ini dapat kita ikuti baik yang
mengaku murid-muridnya atau yang menyukai perjalan ruhani menuju
Mahabbah kepada Allah.
Salah satu tradisi yang dilakukan oleh dunia pesantren adalah mengamalkan manaqib.
Manaqib yang dibaca adalah seputar prikehidupan Syeikh Abdul Qodir al
Jilany q.s.a yang dikenal dengan Sulthanul Auliya. Karenanya manaqib
yang dibaca adalah Manaqib Syeikh Abdul Qadir al Jilany.
Dalam
pembacaan manaqib ini biasanya salah seorang memimpin bacaan yang
terdapat dalam kitab manaqib. Sementara yang lainnya dengan khusu’
mendengarkan secara aktif dengan memuji Allah dengan kalimat-kalimat
yang terdapat dalam Asmaul Husna. Bagi yang mengerti bacaannya dapat
menye¬lami lebih dalam maksud dan pelajaran-pelajaran dari isi kitab
tersebut. Sebab di dalamnya berisi perikehidupan, kebiasaan dan
kelebihan-kelebihan dari Wali Allah. Bagi yang tidak mengerti akan
diterangkan oleh gurunya.
Pembacaan manaqib
ini mempengaruhi tingkat kerohanian para pengamal thareqah. Karena
dengan membaca manaqib diharapkan dapat menda¬patkan limpahan kebaikan
dari Allah SWT (berkah). Mengapa? Sebab di dalam kitab manaqib Syeikh
Abdul Qadir Al Jilani terdapat autobiographi (catatan perjalanan
kehidupan) tentu saja di dalamnya terdapat sejarah, nasihat, prilaku
yang bisa dijadikan teladan dari Syeikh Abdul Qoadir q.s.a
Pengertian dan Manfaat Manaqib
Menurut
kamus Munjib dan Kamus Lisanul ‘Arab, Manaqib adalah ungkapan kata
jama’ yang berasal dari kata Manqibah artinya Atthoriqu fi al jabal
jalan menuju gunung atau dapat diartikan dengan sebuah pengetahuan
tentang akhlaq yang terpuji, akhlaqul karimah. Dari pengertian ini
manaqib dapat diartikan sebuah upaya untuk mendapatkan limpahan
kebaik¬an dari Allah SWT dengan cara memahami kebaikan-kebaikan para
kekasih Allah yaitu para Aulia. Sebab Para wali dicintai oleh Allah dan
para wali sangat cinta kepada Allah. (Yuhibbuunallah wayubibbuhum).
Sebagaimana ditulis dalam quran:
"Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui. (Al Maidah (5): 54)
Ensiklopedi
Islam mengartikan manakib sebagai sebuah sejarah dan pengalaman
spiritual seorang wali Allah SWT. yang di dalamnya terdapat
cerita-cerita, ikhtisar hikayat, nasihat-nasihat serta
peristiwa-peristiwa ajaib yang pernah dialami seorang syekh. Semuanya
ditulis oleh pengikut tarekat atau para pengagumnya dan dirangkum dari
cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang terdekatnya, keluarga
dan sahabat-sahabatnya (Ensiklopedi Islam: 152).
Jadi,
manakib adalah kitab sejarah atau autobiographi yang bersifat
hagiografis (menyanjung) karena manaqib dibaca bertujuan dijadikan
teladan bagi pembacanya disamping juga tujuan tabarruk (mengharap
berkah) dan tawassul (membuat perantara pembaca dengan Allah).
Manaqib adalah Tawasul
Mengenai
masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi menyampaikan bahwa
tawassul dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti yang kalau
dalam Ushul Fiqh disebut dengan tanqihul ma¬nath, dengan menjadikan
bagian-bagian kecil (tabarruk) dari satu induk (tawassul) dimasukkan ke
dalam induk tersebut. Namun, al-Buthi dengan tegas mengata¬kan bahwa
tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits
yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa beliau
pernah menyimpan beberapa helai rambut Nabi. Rambut tersebut beliau
simpan sebagai obat bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah
Nabi (Fiqh al-Sirah:177-178).
Pada
masa Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana
Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al
Qarny r.a untuk memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena uways ini
menurut Nabi saw. akan menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits
tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. . bahwa
Rasulullah saw. bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu
intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu
tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan
kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir. Ketika satu demi
satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-masing;
orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan susu
kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih
menguta¬makan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anaku
merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan
orang kedua ini menghentikan niat hendak mau menggauli sepupu
perem¬puannya padahal sudah memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi
karena sepupu perempuan¬nya meminta menikahkannya, akhirnya membatal¬kan
niat jahat tersebut. Sedangkan orang ketiga memiliki wasilah amal
dima¬na dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur “takutlah kepada
Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Karena merasa takut kepada Allah,
setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak pegawai itu
berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak yang
modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang
tersebut Allah mengge¬rakkan batu besar yang menutupi gua sehingga
mereka bertiga bisa lepas dari musibah. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari
hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat
mengantarkan kita kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi
dapat memberikan pertolongan terhadap derita seorang hamba karena
tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua.
Dalil Manaqib
Mendekati
Allah dengan cara mendekati orang-orang yang dicintai Allah adalah
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Luqman: 15: “.... dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Tafsir
al Qurthuby mengartikan “anaba ilayya” kembali kepada-Ku (Allah SWT)
yaitu kembali kepada jalan para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan
demikian maka mengikuti jalan orang-orang sholeh apalagi para ulama dan
aulia merupakan anjuran Allah dan Rasul-Nya. “Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekha¬watiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Jadi
dengan mengikuti pembacaan manaqib Insya Allah meru¬pakan salah satu
jalan tempuh untuk memperoleh rakhmat dan karunia Allah dengan cepat.
Sebab dengan manaqib ini kita dapat mengenal, memahami, serta menyelami
karakter serta sifat-sifat wali Allah yang tujuan akhirnya dalah untuk
diteladani.
Kalau
Uwais ra hidup pada zaman Rasulullah saw. maka para Waliullah yang
hidup setelahnya patut kita contoh. Salah satu¬nya adalah Syeikh Abdul
Qadir al Jilany (Allah telah mensuci¬kan sir nya) yang dikenal dengan
sultanul auliaa (Penghulu para wali).
Diantara
para pembaca manakib ada yang mengamalkan pembacaan manaqib ini secara
berkala mingguan, bulanan tahunan atau kapan saja jika dikehendaki. Atau
dalam moement-moment berkumpul seperti dalam acara syukuran lahir anak
atau acara walimahan. Tentu saja harapannya adalah agar memperoleh
keberkahan dalam kehidupan jasmani dan rohani dunia wal akhirat. Jadi
tunggu apalagi, makiban yuks! Wallahu ‘alam (MK)
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.